RAGANE PANGUNJUNG KAPING ????

Bagaimana pendapat anda tentang blog ini ?


Rabu, 31 Maret 2010

Sejarah Kabupaten Karangasem Dan kota Amlapura

Sebelum tahun 1908 Kabupaten Karangasem merupakan wilayah kerajaan di bawah kekuasaan raja-raja. Tercatat raja yang terakhir sampai tahun 1908 adalah Ida Anak Agung Gde Djelantik yang membawahi 21 Punggawa, yaitu Karangasem, Seraya, Bugbug, Ababi, Abang, Culik, Kubu, Tianyar, Pesedahan, Manggis, Antiga, Ulakan, Bebandem, Sibetan, Pesangkan, Selat, Muncan, Rendang, Besakih, Sidemen dan Talibeng.

Setelah Belanda menguasai Karangasem, terhitung mulai tanggai 1 Januari 1909 dengan Keputusan Gubernur Djendral Hindia Belanda tertanggal 28 Desember 1908 No. 22, Kerajaan Karangasem dihapuskan dan dirubah menjadi Gauverments Lanschap Karangasem di bawah Pimpinan I Gusti Gde Djelantik (Anak angkat Raja Ida Anak Agung Gde Djelantik) yang memakai gelar Stedehouder. Jumlah kepunggawaan pada saat itu diciutkan dari 21 menjadi 14, yaitu Karangasem, Bugbug, Ababi, Abang, Kubu, Manggis, Antiga, Bebandem, Sibetan, Pesangkan, Pesangkan Selat, Muncan, Rendang dan Sidemen.

Dengan Keputusan Gubernur Hindia Belanda tertanggal 16 Desember 1921 No. 27 Stbl No. 756 tahun 1921 terhitung mulai tanggal 1 Januari 1922, Gouvernements Lanschap Karangasem dihapuskan, dirubah menjadi daerah otonomi, langsung di bawah Pemerintahan Hindia Belanda, terbentuklah Karangasem Raad yang diketuai oleh Regent I Gusti Agung Bagus Djelantik, yang umum dikenal sebagai Ida Anak Agung Bagus Djelantik, sedangkan sebagai Sekretaris dijabat oleh Controleur Karangasem.

Sebagai Regent Ida Anak Agung Bagus Djelantik masih mempergunakan gelar Stedehouder. Jumlah Punggawa yang sebelumnya berjumlah 14 buah dikurangi lagi sehingga menjadi 8 buah, yaitu : Rendang, Selat, Sidemen, Bebandem, Manggis, Karangasem, Abang, Kubu. Dengan Keputusan Gubernur Djendral Hindia Belanda tertanggal 4 September 1928 No. I gelar Stedehouder diganti dengan gelar Ida Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem.

Dengan Keputusan Gubernur Djendral Hindia Belanda tertanggal 30 Juni 1938 No. 1 terhitung mulai tanggal 1 Juli 1938 beliau diangkat menjadi Zelfbesteur Karangasem (terbentuknya swapraja). Bersamaan dengan terbentuknya Zelfbesteur Karangasem, terhitung mulai tanggal 1 Juli 1938 terbentuk pulalah Zelfbesteur - Zelfbesteur di seluruh Bali, yaitu Klungkung, Bangli, Gianyar, Badung, Tabanan, Jembrana dan Buleleng, dimana swapraja-swapraja (Zelfbesteur) tersebut tergabung menjadi federasi dalam bentuk Paruman Agung.

Pada atahun 1942 Jepang masuk ke Bali, Paruman Agung diubah menjadi Sutyo Renmei. Pada tahun 1946 setelah Jepang menyerah, Bali menjadi bagian dari Pemerintah Negara Indonesia Timur dan Swapraja di Bali diubah menjadi Dewan Raja-Raja dengan berkedudukan di Denpasar dan diketuai oleh seorang Raja.

Pada bulan Oktober 1950, Swapraja Karangasem berbentuk Dewan Pemerintahan Karangasem yang diketuai oleh ketua Dewan Pemerintahan Harian yang dijabat oleh Kepala Swapraja (Raja) serta dibantu oleh para anggota Majelis Pemerintah Harian. Pada tahun 1951, istilah Anggota Majelis Pemerintah Harian diganti menjadi Anggota Dewan Pemerintah Karangasem. Berdasarkan UU No. 69 tahun 1958 terhitung mulai tanggal 1 Desember 1958, daerah-daerah swapraja diubah menjadi Daerah Tingkat II Karangasem.

Sejarah Singkat Kota Amlapura

Menurut Pebancangah Babad Dalem, bahwa semenjak bertahta Raja I Dewa Karang Amla, Wilayah Kota Amlapura ini disebut Desa Batuaya. Kemudian tahta berganti sampai masa raja Ida Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem, yang istananya di Puri Amlaraja, pada saat itu sebutan Karangasem sudah dipakai, yang dalam hal ini dikukuhkan oleh Piagam Pura Bukit. Dengan bertahtanya Raja Anak Agung Gde Putu dan Anak Agung Gde Oka, Awig-Awig Desa Batuaya diubah menjadi Awig-Awig Amlapura. Kemudian dibawah pemerintahan Anak Agung Gde Jelantik, sebutan Wilayah Kota Amlapura ini kembali disebut Karangasem sebagai suatu pusat pemerintahan.

Dengan Keputusan Mentri Dalam Negeri (Mendagri) tertanggal 28 November 1970 No. 284 tahun 1970, terhitung mulai tanggal 17 Agustus 1970, Ibu Kota Karangasem diubah menjadi Amlapura, kembali sebagai nama Kerajaan Karangasem yang bertahta di Kota Karang Amla (Amla berarti Asem).

Riwayat Singkat Lahirnya Nama Amlapura

Pada saat itu semenjak terjadi penyerahan kekuasaan kerajaan Karangasem dari pemegang tampuk kekuasaan Raja Batuaya kepada pihak Puri Karangasem, merupakan masa peralihan dari sistim kerajan kepada sistem Pemerintahan Republik, dimana wilayah Kota Amlapura sekarang bernama Amlanegantun.

Mula-mula Ibu Kota Karangasem masih berpusat dengan nama Karangasem pula. Mengingat beberapa Kabupaten di Bali sudah memiliki Ibu Kota seperti Buleleng dengan Kota Singaraja - Singa Ambararaja, Jembrana dengan Kota Negara, Badung dengan Ibu Kota Denpasar, maka dicarilah upaya untuk mencari nama terbaik Ibu Kota Karangasem.

Anak Agung Gde Karang yang menjadi Bupati saat itu berkonsultasi dengan Ketua DPRD Ida Wayan Pidada, hingga menemukan nama Amlepure (Amlapura) yang artinya, Amla berarti buah-buahan, sebagaimana layaknya daerah Karangasem yang memiliki potensi buah-buahan yang sangat beragam, buah apapun yang ada di Bali di Karangasem pun ada. Dari asal nama wilayah Amlanegantun dan sebagai pusat buah-buahan yang beragam, maka lahirlah nama Amlapura (Pura = tempat, Amla =

buah).

Nama Amlapura akhirnya diresmikan sebagai Ibu Kota Kabupaten Karangasem dengan turunnya Kep. Mendagri tanggal 28 Nopember 1970 No. 284 tahun 1970, dan terhitung mulai tanggal 17 Agustus 1970, Kota Karangasem sebagai Ibu Kota Dati II diubah menjadi Amlapura, bersamaan dengan Upacara Pembukaan Selubung Monument Lambang Daerah, oleh Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) XV Bali, sebagai Panji kebanggaan Kabupaten Karangasem di Lapangan Tanah Aron. Dan yang menggembirakan saat itu Kabupaten Karangasem menerima penghargaan Sertifikat dan Tropy Patung dan hadiah berupa uang Rp. 200,00 sebagai Kabupaten Terbersih di Bali. Kini Karangasem pada peringatan hut Kota Amlapura ke-39 juga menjadi Kota Terbersih tidak hanya se-Propinsi Bali tetapi se-Indonesia dengan meraih Trophy Adipura.

Lambang Daerah diambil dari simbol Gunung Agung yang mengepulkan asap dengan membentuk Pulau Bali dengan Tugu Pahlawan di tengah, dikelilingi padi dan kapas menandakan simbol kemakmuran Gunung Agung dengan Pura Besakih sebagai pusat ritual umat Hindhu serta memiliki sejarah sebagai daerah perjuangan, murah sandang pangan, gemah ripah loh jinawi berkat lahar Gunung Agung.

Sedangkan garis merah merupakan simbol Karangasem ngemong Pura Kiduling Kreteg di Besakih.

Kepala Daerah dari masa ke masa

Para pejabat yang pernah memegang jabatan sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Karangasem, yaitu :

Anak Agung Gde Jelantik ( 1951 – 1960 )

I Gusti Lanang Rai ( 1960 – 1967 )

Anak Agung Gde Karang ( 1967 – 1979 )

Letkol Pol I Gusti Nyoman Yudana ( 1979 – 1989 )

Kolonel Pol. I Ketut Mertha, Sm.Ik. S.sos ( 1989 – 1999 )

Drs. I Gede Sumantara Adi Prenatha dan Wakil Drs. I Gusti Putu Widjera ( 1999 – 2005 )

I Wayan Geredeg, S.H. dan Wakil Drs. I Gusti Lanang Rai, M.Si. ( 2005 – sekarang )

Sumber : http://karangasemkab.go.id/index.php/content/index/sejarah_karangasem

Analisis penggunaan media pendingin pada proses pendinginan perunggu gamelan Bali

Pembuatan produk Gamelan Bali bertumpu pada proses pengecoran yang selanjutnya dilanjutkan proses penempaan (forging), pelarasan (sruti), dan akhirnya finishing. Dalam aplikasi di lapangan penggunaan media pendingin setelah proses forging masihlah variatif dan pada umumnya pengrajin menggunakan air sebagai media pendingin. Pada penelitian ini akan diangkat masalah seberapa besar perubahan sifat mekanis melalui variasi media pendingin terhadap komposisi Perunggu Gamelan Bali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat mekanis (ketangguhan retak dan struktur makro dan mikro) dari material tersebut. Spesimen uji merupakan hasil coran antara Tembaga dan Timah Putih dengan komposisi 80%Cu – 20%Sn. Untuk mendapatkan spesimen uji dilakukan proses pemesinan, selanjutnya dipanaskan sampai suhu 500°C dengan holding time 60 menit pada tungku listrik, kemudian dilakukan proses pendinginan pada media pendingin air, oli, dan udara. Pengujian ketangguhan retak dilakukan dengan menggunakan mesin uji standard ASTM E 399-9. Kemudian patahan spesimen difoto untuk struktur makro dan mikronya. Dari hasil pengujian dengan variasi media pendingin diperoleh nilai ketangguhan retak pada media pendingin air paling tinggi dan pada media pendingin udara paling rendah.
Kata kunci: Ketangguhan retak, holding time, struktur makro dan mikro, media pendingin

Panji Yowana Kerthi


Sederet pasukan bajumerah ini adalah bukti dari kesigapan truna truni desa Pakraman Padangaji dalam rangka menyambut tim penilai lomba desa pakraman sekabupaten karangasem yang dilaksanakan baru-bari ini, sekaa yang di buat secara mendadak ini ingin membuktikan bahwa tulang punggung desa pakraman ada di tangan sekaa truna. Sekaa yang dibina langsung oleh I Gusti Ngurah Krisna Adi Putra ini (tukang kendang kiri ), memang mendapat sedikit kendala dalam pembentukannya,sebab dalam hal seni khususnya seni tabuh sangat sedikit peminatnya dari kalangan truna truni, namun berkat kerja keras yang dilakukan akhirnya sebuah sekaa Bleganjurpun terbentuk, walaupun baru hnya bisa menabuh dua sampai tiga gending, namun tidak menyurutkan niat tulus untuk membawa desa pakraman Padangaji menjadi juara. Hasilpun di capai, berkat asung kertha wara nugraha Ida Sang Hyang Widi Wasa akhirnya kamipun memperoleh hasil yang memuaskan yaitu juara pertama tingkat kabupaten, namun inin semua belum berakhir, ujian di didepan masih menunggu, kami masih dihadapkan pada lomba desa tingkat profinsi yang akan lebih menguras tenaga dan fikiran. Hasil yang di capai ini tidak lepas dari kerja keras seluruh warga desa yang bekerja siang malam demi lomba ini. Akhir kata sa ucapkan : "Padangaji,baktiku untukmu"

Senin, 29 Maret 2010

GAMELAN BALI

Seni Karawitan adalah seni mengolah bunyi benda atau alat bunyi-bunyian (instrumen) tradisional. Di Bali, kaprahnya, alat bunyi-bunyian tradisional disebut gamelan atau gambelan. Dalam gamelan ada alat musik tabuh, gesek, tiup, petik dan sebagainya.

Menurut jamannya, Gamelan Bali dibagi menjadi 3 bagian besar:

Gamelan Wayah
Gamelan wayah atau gamelan tua diperkirakan telah ada sebelum abad XV. Umumnya didominir oleh alat-alat berbentuk bilahan dan tidak mempergunakan kendang.
Kalaupun ada kendang, dapat dipastikan bahwa peranan instrumen ini tidak begitu menonjol.
Beberapa gamelan golongan tua antara lain :
  • Angklung - Gender Wayang
  • Balaganjur - Genggong
  • Bebonangan - Gong Beri
  • Caruk - Gong Luwang
  • Gambang - Selonding

Gamelan Madya
Barungan madya, yang berasal dari sekitar abad XVI-XIX, merupakan barungan gamelan yang sudah memakai kendang dan instrumen-instrumen bermoncol (berpencon). Dalam barungan ini, kendang sudah mulai memainkan peranan penting.
Beberapa gamelan golongan Madya adalah:
  • Batel Barong
  • Bebarongan
  • Gamelan Joged Pingitan
  • Gamelan Penggambuhan
  • Gong Gede
  • Pelegongan
  • Semar Pagulingan

Gamelan Anyar
Gamelan Anyar adalah gamelan golongan baru, yang meliputi jenis-jenis barungan gamelan yang muncul pada abad XX. Barungan gamelan ini nampak pada ciri-ciri yang menonjolkan permainan kendang.
Beberapa gamelan golongan Anyar sebagai berikut:

  • Adi Merdangga - Gamelan Manikasanti
  • Bumbung Gebyog - Gamelan Semaradana
  • Gamelan Bumbang - Gong Suling
  • Gamelan Geguntangan - Jegog
  • Gamelan Genta Pinara Pitu - Kendang Mabarung
  • Gamelan Gong Kebyar - Okokan / Grumbungan
  • Gamelan Janger - Tektekan
  • Gamelan Joged Bumbung
Suara gong/ gamelan di Pura juga sering mengganggu kehidmatan upacara, karena gambelan ditempatkan di utama mandala apalagi irama gongnya tidak sesuai dengan suasana hening yang ingin diciptakan. Gambelan mestinya berada di Madya Mandala, iramanya yang lambat tetapi sakral misalnya tabuh telu, lelambatan, dll.

Di Bali jenis gambelan disesuaikan dengan tujuan upacara.
Misalnya untuk suasana sedih ketika meninggal dunia sampai ngaben digunakan angklung, namun ketika ke setra perlu kebulatan tekad dan semangat tinggi, digunakan gong baleganjur; ketika ngaskara perlu suasana sakral magis bervibrasi perjalanan atma ke sunia loka, digunakan gambang.

Pada upacara manusia yadnya digunakan gender, upacara di Pura: gong gede, juga untuk Nyekah yang dilaksanakan di dalam sanggah pamerajan.

Untuk balih-balihan (hiburan) digunakan gerantang untuk joged, janger, gong gde, dll.